:: Selamat Datang di Official Website Masjid Al Hikmah Toyan. Semoga bisa menjadi media berbagi dan media silaturahmi untuk saling memotivasi. Tingkatkan Ukhuwah, Jaga Istiqomah. Salam Ikhuwah. Indahnya Berbagi - Mari Menuju Kebaikan dan Perbaikan ::.
do follow

Website Masjid Al Hikmah Toyan

| Secara Bertahap Website Ini Akan Migrasi Ke Rumah Baru Kami | www.alhikmahtoyan.org

Sabtu, 29 November 2008

Kulit Kurban

Tidak boleh hukumnya menjual kulit hewan kurban. Demikianlah pendapat jumhur ulama tiga mazhab (Imam Maliki, Syafi’i, dan Ahmad) (Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, I/352; Qadhi Shafad, Rahmatul Ummah fi Ikhtilaf Al-A’immah, hal. 85).
Hukum ini berlaku bagi pekurban (al-mudhahhi/shahibul kurban) dan juga berlaku bagi siapa saja yang mewakili pekurban, misalnya takmir masjid atau panitia kurban pada suatu instansi.
Dalil haramnya menjual kulit kurban ada dua, yaitu hadis-hadis Nabi SAW yang melarang menjual kulit kurban, dan hukum syar’i bahwa status kepemilikan kambing kurban telah lenyap dari pekurban pada saat kurban disembelih.


Hadits-hadits Nabi SAW itu di antaranya :
1.Dari Ali bin Abi Thalib RA, dia berkata,”Rasulullah SAW telah memerintahkan aku mengurusi unta-unta beliau (hadyu) dan membagikan daging-dagingnya, kulit-kulitnya…untuk kaum miskin. Nabi memerintahkanku pula untuk tidak memberikan sesuatu pun darinya bagi penyembelihnya (jagal) [sebagai upah].” (Muttafaq ‘alaihi) (Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, IV/95)
Dari hadits di atas, Imam Asy-Syirazi mengatakan,”Tidak boleh menjual sesuatu dari hadyu dan kurban, baik kurban yang wajib (nadzar) atau kurban yang sunnah.” (Imam Asy-Syirazi, Al-Muhadzdzab, I/240)
2.Dari Abu Hurairah RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda,“Barangsiapa menjual kulit kurbannya, maka tidak ada [pahala] kurban baginya.” (Man baa’a jilda udhiyyatihu fa-laa udh-hiyyata lahu) (HR. Al-Hakim & Al-Baihaqi) (Hadis ini sahih menurut Imam Suyuthi. Lihat Imam Suyuthi, Al-Jami’ Ash-Shaghir, II/167)

Dari hadits ini para ulama menyimpulkan haramnya pekurban untuk menjual kulit kurbannya (Syaikh Zakariya Al-Anshari, Fathul Wahhab, II/179, Syaikh Asy-Syarbaini Al-Khathib, Al-Iqna’, II/281).
Adapun dalil kedua, berupa hukum syara’ tentang status kepemilikan kambing kurban. Pada saat disembelih, hilanglah kepemilikan kurban dari pekurban. Maka dari itu, jika pekurban atau wakilnya menjual kulit kurban, sama saja dia menjual sesuatu yang bukan miliknya lagi. Ini jelas tidak boleh.
Dalam masalah ini Imam Asy-Syirazi berkata,”Ketidakbolehan menjual kulit kurban juga dikarenakan hadyu atau kurban itu telah keluar dari kepemilikan pekurban sebagai taqarrub kepada Allah, maka tidak boleh ada yang kembali kepadanya kecuali apa yang dibolehkan sebagai rukhsah yaitu dimakan (Imam Asy-Syirazi, Al-Muhadzdzab, I/240; As-Sayyid Al-Bakri, I’anah Ath-Thalibin, II/333).


Jadi, jelaslah bahwa menjual kulit kurban itu haram hukumnya. Haram pula menjadikan kulit kurban sebagai upah kepada jagal (penyembelih) kurban.
Lalu kulit kurban itu akan diapakan? Kulit kurban itu dapat disedekahkan oleh al-mudhahhi (shahibul kurban) kepada fakir dan miskin (Taqiyuddin Al-Husaini, Kifayatul Akhyar, II/242). Inilah yang afdhol (utama). Jadi perlakuan pada kulit kurban sama dengan bagian-bagian hewan kurban lainnya (yang berupa daging), yakni disedekahkan kepada fakir dan miskin. Dalilnya adalah hadis sahih dari Ali bin Abi Thalib RA di atas.
Boleh pula kulit kurban itu dimanfaatkan oleh pekurban, misalnya dibuat sandal, khuf (semacam sepatu), atau timba.


Dalilnya adalah hadits Aisyah RA. Aisyah RA meriwayatkan bahwa orang-orang Arab Badui pernah datang berombongan minta daging kurban pada saat Idul Adha. Rasulullah SAW lalu bersabda,”Simpanlah sepertiga dan sedekahkanlah sisanya.” Setelah itu ada yang berkata kepada Rasulullah SAW,”Wahai Rasululah sesungguhnya orang-orang biasa memanfaatkan kurban-kurban mereka, mereka membuat lemak darinya, dan membuat wadah-wadah penampung air darinya.” Rasulullah menjawab,”Apa masalahnya?” Mereka menjawab,”Wahai Rasulullah, Anda telah melarang menyimpan daging-daging kurban lebih dari tiga hari.” Rasulullah SAW menjawab,”Sesungguhnya aku melarang hal itu karena adanya orang Baduwi yang datang berombongan minta daging kurban (min ajli ad-daafah). [Sekarang] makanlah, sedekahkanlah, dan simpanlah.” (HR. Tirmidzi, Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, IV/97; Imam Asy-Syirazi, Al-Muhadzdzab, I/240). Hadits ini menunjukkan bolehnya memanfaatkan kulit kurban misalnya untuk dijadikan wadah-wadah penampung air dan sebagainya (Imam Asy-Syirazi, Al-Muhadzdzab, I/240)

Memang ada sebagian ulama yang membolehkan menjual kulit kurban. Menurut Imam Abu Hanifah, boleh menjual kulit kurban tapi bukan dengan dinar dan dirham (uang). Maksudnya, boleh menjual kulit kurban dengan menukarkan kulit itu dengan suatu barang dagangan (al-‘uruudh) (Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, IV/97,Taqiyuddin Al-Husaini, Kifayatul Akhyar, II/242). Menurut Imam An-Nakha’i dan Imam Al-Auza’i, boleh menjual kulit kurban dengan peralatan rumah tangga yang bisa dipinjamkan, misalnya kapak, timbangan, dan bejana. Menurut Imam ‘Atha` (tabi’in), tidak apa-apa menjual kulit kurban baik dengan dirham (uang) maupun dengan selain dirham. (Qadhi Shafad, Rahmatul Ummah fi Ikhtilaf Al-A’immah, hal. 85).

Dalil ulama yang membolehkan menjual kulit kurban, adalah hadits yang membolehkan memanfaatkan (intifa’) kurban, yaitu hadis riwayat Imam Tirmidzi dari Aisyah RA di atas. Dalam pandangan Imam Abu Hanifah, atas dasar hadits itu, boleh melakukan pertukaran (mu’awadhah) kulit kurban asalkan ditukar dengan barang dagangan (al-‘uruudh), bukan dengan uang (dinar dan dirham). Sebab pertukaran kulit kurban dengan barang dagangan termasuk dalam pemanfaatan kurban (intifa’) yang dibolehkan hadits menurut semua ulama secara ijma’ (Lihat Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, I/352, Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, IV/95).

Pendapat ulama yang membolehkan menjual kulit kurban itu adalah pendapat yang lemah, berdasarkan dua hujjah berikut :
Pertama, telah terdapat nash hadis sahih yang mengharamkan menjual belikan kulit kurban. Nabi SAW bersabda,“Barangsiapa menjual kulit kurbannya, maka tidak ada [pahala] kurban baginya.” (HR Al-Hakim dan Al-Baihaqi).
Haramnya menjual kulit kurban dalam hadis di atas bersifat umum, artinya mencakup segala bentuk jual beli kulit kurban. Baik menukar kulit dengan uang, maupun menukar kulit dengan selain uang (misalnya dengan daging). Semuanya termasuk jual beli, sebab jual beli adalah menukarkan harta dengan harta (mubadalatu maalin bi maalin). Maka penukaran kulit kurban dengan selain dinar dan dirham (uang), misalnya kulit kurban ditukar dengan daging, tetap termasuk jual beli juga.

Perlu diketahui, bahwa ditinjau dari objek dagangan (apa yang diperdagangkan), jual beli ada tiga macam :
(1) jual beli umum, yaitu menukar uang dengan barang,
(2) jual beli ash-sharf (money changing), yaitu menukar uang dengan uang,
(3) jual beli al-muqayadhah (barter), yaitu menukar barang dengan barang. (Lihat Abdullah al-Mushlih dan Shalah Ash-Shawi, Fikih Ekonomi Keuangan Islam [Maa Laa Yasa’u At-Taajir Jahluhu], Penerjemah Abu Umar Basyir, Jakarta : Darul Haq, 2004, hal. 90)
Atas dasar itu, keharaman menjual kulit ini mencakup segala bentuk tukar menukar kulit, termasuk menukar kulit dengan barang dagangan. Sebab hal ini tergolong jual beli juga, yakni apa yang dalam istilah fiqih disebut al-muqayadhah (barter).
Kedua, tidak dapat diterima membolehkan jual beli kulit dengan hujjah hadits Aisyah tentang bolehnya memanfaatkan (intifa’) kurban.

Sebab kendatipun hadits Aisyah itu bermakna umum, yaitu membolehkan pemanfaatan kurban dalam segala bentuknya secara umum, tapi keumumannya telah dikhususkan (ditakhsis) dengan hadits yang mengharamkan pemanfaatan dalam bentuk jual beli (hadits Abu Hurairah). Kaidah ushul fiqih menyatakan :
Al-‘aam yabqaa ‘alaa ‘umuumihi maa lam yarid dalil al-takhsis
“Dalil umum tetap berlaku umum, selama tidak terdapat dalil yang mengkhusukannya (mengecualikannya).”

Atas dasar itu, menukar kulit dengan barang dagangan tidak termasuk lagi dalam pemanfaatan kulit yang hukumnya boleh, sebab sudah dikecualikan dengan hadits yang mengharamkan jual beli kulit.
Kesimpulannya, menjual kulit kurban hukumnya adalah haram, termasuk menukar kulit dengan daging untuk disedekahkan kepada fakir miskin. Inilah pendapat yang kami anggap rajih (kuat), sesuai hadis Nabi SAW yang sahih, “Barangsiapa menjual kulit kurbannya, maka tidak ada [pahala] kurban baginya.” (HR Al-Hakim dan Al-Baihaqi).



Sumber : khilafah1924.org

Selengkapnya → Kulit Kurban

Rabu, 26 November 2008

Tentang Memotong Kuku Dan Rambut

Benarkah ada larangan memotong kuku dan rambut bagi orang yang hendak berkurban? Karena ada hadits Nabi SAW,"Apabila engkau telah memasuki 10 hari pertama bulan Dzulhijjah sedangkan salah satu di antara kalian ingin berkurban maka janganlah dia memotong sedikit pun bagian dari rambut dan kulitnya." (HR Muslim).
Memang ada larangan bagi yang akan berkurban, maksudnya bagi yang akan menyembelih kurban, untuk memotong kuku dan rambutnya pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah. Dalilnya adalah hadits yang sudah disebut di atas dari Ummu Salamah RA dalam berbagai bunyi riwayat. Hanya saja lafazh hadits yang dikutip di atas sebenarnya masih ada lanjutannya. Lengkapnya adalah :

"Jika telah masuk 10 hari pertama bulan Dzulhijjah sedangkan salah satu di antara kalian ingin berkurban maka janganlah dia memotong sedikit pun bagian dari rambut dan kulitnya hingga dia menyembelih." (HR Muslim).(Lihat Abdul Muta’al Al-Jabari, Cara Berkurban (Al-Udhhiyyah : Ahkamuha wa Falsafatuha at-Tarbawiyah), [Jakarta : Gema Insani Press, 1994], hal. 66)

Namun hadits di atas tidak hanya diriwayatkan oleh Imam Muslim (hadits no 1977), tapi sebagaimana dijelaskan Imam Syaukani, hadits itu juga diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud (hadits no 2791), dan Imam an-Nasa’i (Juz VII/hal. 211). (Imam Syaukani, Nailul Authar, [Beirut : Dar Ibn Hazm, 2000], hal. 1008). Menurut Imam Suyuthi, hadits semakna juga diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah (Imam Suyuthi, Al-Jami’ Ash-Shaghir, I/25).

Hanya saja para ulama berbeda pendapat apakah larangan itu bermakna pengharaman atau sekedar larangan makruh. Dalam kitab Rahmatul Ummah fi Ikhtilaf al-A`immah (Beirut : Darul Fikr, 1996) karya Qadhi Shafad hal. 74 disebutkan pendapat imam yang empat dalam masalah ini sebagai berikut :

"Jika memasuki sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah, maka barangsiapa yang bermaksud untuk menyembelih kurban, disunnahkan baginya menurut Imam Malim dan Syafi’i untuk tidak mencukur rambut dan memotong kukunya hingga dia selesai menyembelih kurban. Jika dia mengerjakan perbuatan itu, hukumnya makruh. Imam Abu Hanifah berkata,’Itu [mencukur rambut dan memotong kuku] adalah mubah, tidak dimakruhkan dan tidak pula disunnahkan. Imam Ahmad mengharamkan perbuatan tersebut."

Imam Syaukani juga menjelaskan adanya perbedaan pendapat dalam masalah tersebut dalam kitabnya Nailul Authar. Imam Syaukani meriwayatkan, bahwa menurut Said bin Musayyab, Rabi’ah, Ahmad, Ishaq, Daud, sebagian ulama Hanafiyah dan sebagian ulama Syafi’iyah, larangan mencukur rambut dan memotong kuku dalam hadits tersebut adalah dalam arti pengharaman (tahrim). (Imam Syaukani, Nailul Authar, hal. 1008; Abdul Muta’al Al-Jabari, Cara Berkurban, hal. 66).

Sementara itu menurut Imam Syafi’i dan para pengikutnya, hukumnya makruh tanzih, bukan haram. Imam Abu Hanifah berkata, hukumnya tidak makruh. Pendapat Imam Malik ada tiga riwayat; dalam satu riwayat, hukumnya tidak makruh, dalam riwayat kedua, hukumnya makruh, dan dalam riwayat ketiga, hukumnya haram jika kurbannya kurban sunnah (Imam Syaukani, Nailul Authar, Bab Maa Yajtanibuhu fi Al-‘Asyari Man Araada al-Tadh-hiyyah, hal. 1008).

Menurut kami, pendapat yang memakruhkan adalah lebih kuat (rajih), karena terdapat hadits lain yang menjadi qarinah (indikasi) bahwa larangan pada hadits Ummu Salamah di atas adalah larangan makruh, bukan larangan haram. Imam ash-Shan’ani dalam Subulus Salam Juz IV hal. 96 mengenai masalah ini berkata,"Telah terdapat qarinah bahwa larangan itu bukanlah pengharaman." (qad qaamat al-qarinah ‘ala anna an-nahya laysa lit tahrim).

Hadits lain yang menjadi qarinah itu adalah hadits ‘Aisyah RA, bahwa Ziyad bin Abu Sufyan pernah menulis surat kepada ‘Aisyah, bahwa Abdullah Ibnu Abbas berkata,’Barangsiapa membawa hadyu, maka haram atasnya apa-apa yang haram atas orang yang sedang haji, hingga dia menyembelih hadyu-nya." Maka ‘Aisyah berkata,’Bukan seperti yang diucapkan Ibnu Abbas. Aku pernah menuntun tali-tali hadyu milik Rasulullah SAW dengan tanganku lalu Rasulullah SAW mengalungkan tali-tali itu dengan tangan beliau, kemudian beliau mengirimkan hadyunya bersama ayahku [Abu Bakar], maka Rasulullah tidak mengharamkan atas sesuatu yang dihalalkan oleh Allah bagi beliau hingga beliau mengembelih hadyu-nya." (HR Bukhari dan Muslim; Imam Syaukani, Nailul Authar, Bab Anna Man Ba’atsa bi-Hadyin Lam Yahrum ‘Alaihi Syaiun Bi-Dzalika, hal. 1004-1005; Imam ash-Shan’ani, Subulus Salam, Juz IV hal. 96)

Imam Syafi’i berkata,"Dalam hadits ini terdapat dalalah [petunjuk, dalil] bahwa tidak haram atas seseorang sesuatu pun karena tindakannya mengirimkan hadyu-nya. Padahal mengirimkan hadyu adalah lebih banyak/lebih besar daripada kehendak menyembelih kurban." (fiihi dalalatun ‘ala annahu laa yahrumu ‘ala al-mar`i syai’un bi-ba’tsihi bi-hadyihi. Wa al-ba’tsu bi al-hadyi aktsaru min iradah al-tadh-hiyyah) (Lihat Imam ash-Shan’ani, Subulus Salam, Juz IV hal. 96)

Jadi, hadits Aisyah di atas oleh Imam Syafi’i dijadikan qarinah bahwa larangan memotong kuku dan rambut bagi orang yang hendak menyembelih kurban (dalam hadits Ummu Salamah) adalah larangan makruh, bukanlah larangan haram.

Kesimpulannya, bagi orang yang hendak berkurban, makruh hukumnya bagi dia untuk memotong kuku dan rambutnya pada 10 hari pertama bulan Dzulhijjah hingga dia selesai menyembelih kurbannya. Wallahu ‘alam [ ]

Sumber : khilafah1924.org

Selengkapnya → Tentang Memotong Kuku Dan Rambut

Senin, 24 November 2008

Pembuatan Jalan Masjid

Guna mengoptimalkan jalan masjid pada hari Ahad, 23 Nopember 2008 dilaksanakan kerja bakti. Tembok batas barat masjid dibongkar dan dibuat baru, sehingga sekarang warga jamaah yang dari utara dapat melewati jalan tersebut walaupun cukup sempit hanya sekitar 1,5 meter. Dan disisi lain tempat ini juga bisa digunakan sebagai tempat parkir jamaah.










Selengkapnya → Pembuatan Jalan Masjid

Senin, 17 November 2008

Kurban Dan Tanggung Jawab Sosial

“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu ni`mat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus” (Q.S. 108/al-Kautsar: 1-3)
Pada ayat di atas Allah menyatakan, bahwa Ia telah memberikan nikmat yang sangat banyak kepada kita, maka kita diperintahkan untuk mendirikan shalat dan berqurban. Selanjutnya pada Q.S. 55/al-Rahmân ada sebuah kalimat yang bermakna: “Maka ni`mat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?” diulang sebanyak 31 oleh para mufassir disebut dengan ‘Arusy al-Qur’an (Pengantin al-Qur’an). Perinciannya 8 kali ketika menyelingi berbagai macam nikmat di dunia, 7 kali ketika menyelingi berbagai peringatan Allah dan masing-masing 8 kali (16 kali) ketika menggambarkan keindahan dan kenyamanan dua macam surga. Kutipan ayat di atas menggambarkan betapa hidup ini sarat dengan berbagai karunia Allah SWT. Sayangnya, seringkali kita menganggapnya sebagai angin lalu, bahkan mungkin kita tidak menyadarinya, sehingga kita lebih banyak mendikte Allah untuk selalu memenuhi kebutuhan kita, ketimbang mensyukuri nikmat itu pada jalan kebaikan yang diridhai-Nya. Begitulah sifat dan watak manusia, lebih banyak menuntut hak daripada menunaikan kewajiban.
Setiap kali memasuki bulan Dzulhijjah atau yang dikenal oleh masyarakat dengan bulan haji, teringat akan dua hal penting, dua peristiwa besar yang kemudian sangat monumental dalam sejarah umat manusia dan menjadi bagian dari syari’at Islam adalah peristiwa qurban dan ibadah haji. Hari raya qurban atau ‘Idul Adha hakikatnya adalah teguran, betapa nikmat Allah yang kita terima sungguh tak terhingga, sehingga kita diwajibkan “mengurbankan” sebagian milik kita untuk kepentingan syi’ar agama dan sebagai manifestasi tanggung jawab sosial.
Dalam catatan sejarah, ibadah qurban dan ibadah haji merupakan syari’at Islam yang sudah sangat tua, yang lahir melalui sebuah pengalaman sangat dramatis dari kehidupan Nabi Ibrahim As. dan keluarganya, sebagaimana diabadikan dalam surat al-Shaffât ayat 102 dan surat al-Hajj ayat 27. Kata qurban secara literal berarti semakna dengan taqarrub (mendekatkan). Kata mendekatkan dapat dimaknai dari dua sisi. Pertama, mendekatkan bagi yang posisinya sudah dekat. Kedua, mendekatkan karena memang posisinya sudah mulai renggang, bahkan mungkin menjauh. Dengan demikian ibadah qurban tentunya menjadi salah satu upaya mendekatkan diri kepada Allah, mereposisi keberadaan kembali di hadapan Allah.
Ibadah qurban dari satu sisi sebenarnya cukup unik. Qurban mengisyaratkan bahwa mendekatkan diri kepada Allah dapat dilakukan dengan mendekatkan diri kepada sesama manusia, khususnya mereka yang tergolong kaum mustadh’afîn. Dengan kata lain, seseorang tidak akan disayang oleh Allah jika dia tidak menyayangi sesama manusia. Seseorang tidak akan ditolong oleh Allah jika dia tidak pernah menolong sesama manusia, dan seseorang tidak akan pernah dekat dengan Allah jika dia tidak dekat dengan sesama manusia.
Ibadah qurban tidak sepatutnya dipahami hanya dalam bingkai penunaian syari’at Islam semata, tetapi harus terus digali pesan moral yang dapat kita jadikan pedoman berkiprah dan berperilaku dalam kehidupan. Ada baiknya kita renungkan sedikit dari bagian sejarah hidup Rasulullah SAW sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Amad, Abu Dawud dan al-Turmidzi, bahwa setiap hari raya Idul Adha Rasulullah membeli dua ekor domba yanag gemuk, yang bertanduk, dan berbulu putih bersih. Beliau bertindak sebagai imam shalat, dan berkhutbah. Sesudah itu, beliau mengambil seekor dari domba itu dan meletakkan telapak kakinya di sisi tubuh domba seraya berkata: “Ya Allah, terimalah ini dari Muhammad”, lalu beliau menyembelihnya dengan tangannya sendiri. Kemudian beliau membaringkan domba yang berikutnya, menyembelihnya sambil berkata: “Ya Allah, terimalah ini dari umatku yang tidak mampu berqurban”. Sebagian kecil daging qurban dimakan Rasulullah bersama keluarganya, dan sebagian besarnya dibagikan kepada fakir-miskin.Atas dasar hadits ini, para ahli hukum Islam menetapkan sebuah norma dalam berqurban, bahwa hukum ibadah qurban adalah sunnah muakkadah atau sunnah yang sangat dianjurkan. Hewan qurban sebaiknya yang gemuk, sehat, cukup usia, tidak cacat, dan penyembelihannya seyogyanya dilakukan sendiri oleh orang yang berqurban sebagaimana dilakukan oleh Rasulullah SAW.

Sumber : www.berbagigenggaman-pedulisesama.blogspot.com

Selengkapnya → Kurban Dan Tanggung Jawab Sosial